Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wahono saat mempraktikkan alat temuannya |
Kota Malang, Bhirawa
Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Wahono menemukan cara spektakuler untuk pemetaan lahan dan penyebaran bibit di daerah yang sulit dijangkau manusia. Wahono, menciptakan pesawat tanpa awak (drone) yang diberi nama Farm Mapper.
Kandidat Doktor Universitas Gajah Mada (UGM) ini merancang sendiri alat-alat tersebut untuk menyelesaikan disertasinya dengan fokus pada inovasi yang mendukung kebutuhan pupuk untuk tanaman di area yang sangat luas.
Awalnya ia hanya ingin membeli pesawat sejenis untuk mendukung disertasinya. Namun karena harganya sangat tinggi, lebih dari Rp 700 juta, muncullah ide untuk menciptakan drone sendiri.
“Untuk membuat pesawat ini, saya harus menguji coba ulang dengan memodifikasi dari model pesawat tanpa awak sejenis yang sudah ada sebelumnya,” ungkapnya. Dengan background keahlian di bidang teknologi informasi, drone yang dikembangkan Wahono diyakini memiliki teknologi high resolution real time. Pesawat ini mampu memetakan (mapping) wilayah hingga luas 800 sampai 900 meter sekali terbang dalam waktu dua jam.
“Hal ini tentu membuat proses pemetaan lahan jadi jauh lebih efektif dan efisien. Kalau harus mengukur satu persatu ke lapangan membutuhkan waktu lama dan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi,” kata dia.
Mantan kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Komputer UMM ini, menyatakan Farm Mapper menggunakan sensor canggih yang mampu memetakan area luas tanpa menggunakan remote control.
“Kita tinggal program pesawat ini mau terbang ke area mana yang akan kita mapping, sambil melihat proses pemetaan di front station pada layar komputer, sampai dia kembali lagi,” terangnya.
Hasil pemetaan yang diperoleh tadi langsung terunggah di komputer yang telah dipasang aplikasi khusus. Data tersebut bisa direkonstruksi dalam model 2D dan 3D. Selain untuk bidang pertanian, Wahono menuturkan, Farm Mapper juga bisa digunakan untuk pemetaan terumbu karang dibawah permukaan laut pada pulau-pulau kecil.
Diakui dia, banyak kendala yang ia hadapi saat proses uji coba, mulai dari hal teknis sampai hilang saat pesawat jatuh.
“Seperti saat hujan deras, pesawat yang kita terbangkan terjebak dan hanya bisa berdiam di udara hingga baterainya hampir habis. Saat hujan reda, pesawat memang bisa kembali terbang normal,” tuturnya. Namun karena baterai hampir habis pesawat tidak sampai kembali ke orbit awal dan akhirnya pesawat yang ia buat dengan biaya sekitar 20 juta itu pun jatuh.
“Waktu itu tempat jatuhnya berjarak sekitar 2 km, saat saya mau ambil ternyata sudah hilang,” tuturnya. Kedepan, Wahono berencana mempercanggih drone ciptaannya itu. Ia akan menambahkan sensor collision avoidence dan route alternative yang mampu menghindari tabrakan pesawat dari objek tak terduga didepannya hingga pesawat mampu mengubah arah secara otomatis. [mut]