Untuk Solusi Ketergantungan Impor, FPP UMM Mengembangkan Agroforestri Kedelai

Senin, 09 Februari 2015 14:49 WIB   Fakultas Pertanian-Peternakan

Saidatul Idiyah diantara lahan kedelai di bawah pohon sengon

Malang – Peneliti kedelai dari Fakultas Pertanian –Peternakan (FPP) UMM, Dr Saidatu Idiyah menawarkan solusi peningkatan produksi kedelai dalam negeri melalui agroforestry.

“Agroforestri adalah system dan teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan mengombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian pada waktu yang bersamaan atau bergiliran, “ ungkap Ida, panggilan akrab Saidatul Idiyah.

Karena kombinasi dengan tanaman kayu maka system ini dapat diterapkan di hutan produksi atau dilahan pekarangan penduduk. Solusi ini tentunya akan menjawab kegundahan petani bahkan industry dengan naiknya harga kedelai. Sebab setiap kali harga kedelai mengalami kenaikan selalu banyak pihak menderita.

Betapa tidak, ribuan produsen tahu dann tempe harus merugi karena sulit untuk menaikkan harg ajual sedangkan bahan baku utamanya naik. Juli lalu kenaikan dari Rp.6000 menjadi Rp. 8000 per kg(33 persen). Jutaan rakyat menjerit karena makanan andalan utamnya yang semula murah menjadi makin mahal.

“Setiap kali hal ini terjadi kita tersadar betapa ketergantungan pada kedelai impor menunjukkan lemahnya kemandirian pangan kita,”ungkapnya.

Produksi kedelai Indonesia yang rata-rata hanya 900 ribu ton per tahun masih jauh dari kebutuhan yang mencapai 1,7 juta ton per tahun. Akibatnya kekurangan harus dipenuhi lewat impor. Kebutuhan impor hingga 47 persen dari kebutuhan, merupakan jumlah yang tidak sedikit. Selain dari Amerika Serikat, Indonesia juga mengimpor kedelai dari Argentina yang produksi kedelainya mencapai 44 juta metric ton.

Keputusan pemerintah mengimpor kedelai disebabkan kurangnya lahan untuk menanam pangan tersebut. Menteri Pertanian mengatakan dibutuhkannya sedikit 500 ribu hektar untuk menanm kedelai. Namun lahan tersebut hingga kini belum tersedia. Untuk mengatasi kekurangan lahan tersebut, diusulkan penanaman kedelai dengan cara tumpangsari, yakni kedelai ditanam bersama tanaman utama.

Ida telah melakukan riset budidaya budidaya kedelai di lahan agroforestri dengan tanaman kayu sengon dan dengan tanaman apel. Tetapi prinsipnya kedelai dapat ditanam diantara tanaman kayu lainnya. Memang budidaya kedelai dibawah tanaman kayu menghasilkan produksi tidak sebesar  pada system monokultur, yakni hanya 60persen. Untuk meningkatlan kesuburan dan produksinya, Ida member perlakuan isolate Bradyrhizobium Japonicum.

Isolate temuannya pada penelitian sebelumnya sejak 2008, diantaranya bermanfaat meningkatkan fiksasi Nitrogrn dan tanaman kedelai jadi tahan terhadap naungan. Itulah makanya tanaman kedelai ynag diberi isolate tersebut bisa ditanam  di bawah tanaman kayu di hutan atau di lahan pekarangan diantara tanaman lainnya.

Isolat yang diperolehnya sebanyak 9 isolat, adalah bakteri yang diisolasi dai tanaman kedelai dengan penggunaan bioteknologi. Ida adalah pakar bioteknologi Jurusan Agroteknologi UMM. Dengan didukiung penggunaan isolate B Japonicum tersebut Ida optimis bahwa lahan hutan dan lahan pekarangan penduduk dapat dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya kedelai sehingga produksi kedelai nasional meningkat.

Seperti halnya semua kebun pekarangan tropis yang dikategorikan sebagai system agroforestri kompleks, kebun pekarangan di Pulau Jawa adalah system agroforestri yang sangat khas. Sejalan dengan hal itu, maka budidaya kedelai dengan sistem agroforestri, atau tumpang sari kedelai dengan tegakan pohon, tampaknya dapat memnjadi alternatif pemecahan masalah tersebut.

Dijelaskannya luas hutan di Pulau Jawa hingga saat ini tercatat 2,4 juta ha atau sekitar 22 persen dari luas daratan. Pada lahan tersebut agroferestri kedelai mencapai produktifitas 6o % disbanding system monokultur sebesar 1,2 ton per ha. Maka dalam setahun pulau jawa dapat mengahasilkan kedelai 1,728 juta ton kedelai/tahun (60 % x 1,2 ton x 2,4 juta/ha). Perhitungan simulasi tersebut masih belum dilakukan untuk lahan pekarangan, karena data tepatnya sulit ditentukan mengingat penurunan luas dari tahun ketahun untuk pemukiman penduduk.

Memang untuk mewujudkan perhitungan simulasi tersebut dilahan sesungguhnya tidak mungkin dilakukan serentak, melinkan secara bertahap. Paling tidak jika setiap tahun ditargetkan 25 % lahan agroforestri ditanami kedelai maka dalam empat tahun secara bertahap produksi kedelai nasional dapat memenuhi kebutuhan dalam negri.

Dibutuhkan kesadaran dan kemauan banyak pihak untuk merealisasikannya. Ida berusaha menggugah kesadaran betapa jika upaya maksimal dilakukan maka solusi kemandirian pangan dapat dicapai. Baik dari pemangku kepentingan bahkan melalui generasi muda yang studi dijurusan Agroteknologi UMM.

 

Shared: